Dua hari lagi adalah
peringatan seperempat tahun pernikahan saya. Ini berarti sudah hampir 3 bulan
saya berada di kota yang tidak pernah saya bayangkan saya akan berada di sana.
Lembang.
Saya ingin mengingat
kembali masa di mana saya seperti diajak berputar-putar untuk kemudian
dipertemukan (oleh-Nya), dengan cara yang sama sekali tidak saya duga, dengan
pasangan hidup saya.
Saat itu, bulan Agustus
tahun 2015 (cerita ini saya dengar setelah saya mendekati pernikahan saya
dengan suami saya) – mungkin itu di tanggal 22 atau 29, hari bahagia rekan
kerja sekaligus teman dekat saya. Dia mendapuk saya sebagai pengiring
pengantinnya saat itu (saya rasa hari itu berjalan tidak baik). Itu adalah hari
di mana Tuhan bekerja dengan begitu luar biasa dalam hidup saya. Saya rasa itu
permulaannya, namun mungkin Tuhan telah mengerjakannya sejak lama.
Sebagai seorang pengiring
pengantin, tentu saya harus sudah berada sehari di rumah calon pengantin sebelum
pernikahan berlangsung. Jumat malam, saya tidak bisa tidur, hari itu terasa
kurang lengkap karena saya sedang dalam kondisi tidak baik. Saya lupa rincinya,
yang saya ingat hari itu tidak seperti yang saya harapkan.
Esoknya, saya terbangun
dan didandani selayaknya seorang pengiring. Saya tidak suka dan tidak pernah
suka didandani seperti itu. Saya tidak pernah merasa cantik saat didandani,
rasanya seperti memakai topeng saja. Hari itu saya jalani sekadarnya, sampai
tibalah saat para tamu undangan dari tempat saya bekerja menghadiri pernikahan
itu.
Benar, saat itu saya
merasa tidak nyaman dengan make up ataupun pakaian yang saya
kenakan, dan benar, saat itu perasaan saya sedang kosong dan terasa begitu
menyedihkan. Bukan karena sahabat saya menikah, bukan pula karena saya iri
dengan pernikahan itu, perasaan itu begitu kosong, dan hebatnya ternyata ada
yang memperhatikan keadaan saya saat itu. Dialah bos saya, yang kemudian akan
menjadi mertua saya. Dia yang menceritakan bagaimana wajah saya saat itu, betapa
saya begitu kentara merasa sendiri di tengah keramaian pesta.
Hari pernikahan itu usai
dan berlalu begitu saja, begitu menyedihkan, di mana saya harus berpisah dengan
sahabat saya, dia akan memulai hidupnya yang baru di pulau lain, sementara saya
harus kembali ke kehidupan saya, kembali bekerja dan menjalani hari seperti
biasa.
Agustus 2015, berlalu
dengan sewajarnya. Hari-hari saat kehilangan sosok teman dekat sudah berlalu.
Hari-hari selanjutnya adalah hari yang sangat amat biasa, namun bos saya ternyata
telah lama memperhatikan saya sejak hari pernikahan sahabat saya itu. Bos saya
– seperti yang beliau ceritakan – berdoa untuk saya, di sinilah kuasa doa itu
mulai bekerja. Atau mungkin – pasti - telah lama bekerja, tetapi saya
belum rasakan seperti apakah hasil pergumulan doa itu.
Kehidupan saya bukanlah
kehidupan yang bisa dikatakan baik. Mungkin benar di luar saya tampak baik-baik
saja, tetapi di dalam saya begitu hancur dan remuk. Saya sudah terlalu dalam
terperangkap dalam dosa yang sangat memalukan, sampai saat ini saya berusaha
untuk menghapus semua itu, memohon pengampunan dari Dia yang menciptakan saya.
Saya percaya, Dia yang menciptakan saya telah mengampuni saya. Mengapa saya
berani mengatakannya? Karena Dia telah melepaskan saya dengan cara yang sangat
luar biasa, melepaskan saya untuk selamanya dari dosa, bahkan memberi saya
hadiah yang begitu luar biasa, seorang suami yang begitu luar biasa bagi saya.
Terima kasih, Bapa.
Saat-saat itu adalah saat
di mana saya bergumul dengan dosa, dan sering saya menyerah dengan dosa itu,
saya merasa tidak ada, dan tidak akan pernah ada pertolongan dan kekuatan yang
akan membuat saya keluar dari dosa itu. Dan benar, saya tidak mampu melawannya,
sekali pun saya berdoa, berkomitmen, menyesali diri, tetap saya tidak mampu
saat itu. Pergumulan dan penyerahan saya terhadap dosa sudah saya jalani kurang
lebih 2 tahun.
Berbulan-bulan sejak
pernikahan sahabat saya itu, tahun 2016, mungkin di bulan Maret, atau Februari
- bos saya memulai percakapan ringan dengan saya. Saat itu sedang diadakan
pelatihan dari pemerintah untuk para karyawan dari beberapa instansi, dan saya
adalah salah satu utusan dari instansi tempat saya bekerja. Beliau mendekati
saya di waktu rehat pelatihan. Begitu ringan dan singkat percakapan itu.
“Sies, mau nggak Ibu
kenalkan dengan keponakan Ibu?” Ibu - begitu saya memanggil bos saya ketika itu
- bahkan sampai hari ini. Tanpa ada curiga sama sekali dan tanpa beban – tanpa
berpikir panjang, tanpa ada perasaan aneh apa pun, saya menjawab, “Boleh, Bu.
Kan, semakin banyak teman semakin bagus.” ringan saja saya menjawabnya,
spekulatif. “Iya, benar, untuk nambah-nambah teman
aja.” begitu kata beliau. Dalam hati saya begitu hopeless.
Teman? Yah, oke, teman. Saya sama sekali tidak berharap lebih. Atau mungkin
saya berharap, ya, sepertinya saya bersorak kegirangan waktu itu, kegirangan
karena orang yang akan mengenalkan saya adalah orang yang luar biasa bagi saya,
mungkin ibu ini akan membawa pencerahan untuk saja, begitu pikiran saya saat
itu, antara berharap dan tidak berharap.
Sementara saya
mengendalikan diri agar tidak terlalu tampak “berharap”, ibu itu
mengeluarkan smartphone-nya. Membuka aplikasi Facebook di
ponselnya, dan menunjukkan pada saya sebuah foto. Sebuah foto. Foto sekelompok
orang, mungkin ada 10 orang dalam satu frame foto itu.
Laki-laki dan perempuan. Lalu ibu itu bertanya pada saya, “Coba lihat. Menurut
kamu, siapa yang paling ganteng di sini? Dia keponakan ibu”.
Hahaha. Saya tertawa
dalam hati. Siapa yang paling tampan? Oke, pikir saya, saya akan menemukannya,
dan saya tidak akan salah tunjuk. Saya pun mulai memperhatikan foto itu,
menilai dan membandingkan. Ibu ini berencana untuk mengenalkan saya pada
keponakannya, tentunya dia masih “single”. Mata saya terpaku pada sosok
pria kekar yang menurut saya paling tampan di sana, tapi, sayangnya, dia
dipeluk oleh seorang wanita dengan begitu mesranya. Sedikit kecewa, dan kembali
ingat, salah satu pria di foto ini akan dikenalkan pada saya, dia paling tampan
(menurut penilaian subjektif bos saya) dan dia single. Saya
berpikir cepat, tidak mungkin orang yang akan dikenalkan pada saya dipeluk
mesra seorang wanita seperti itu.
Lalu, saya menurunkan
sedikit standar saya, dan mulai berpikir lebih masuk akal. Saya melihat ada
seorang pria, bertubuh kekar juga, berdiri sendiri, sepertinya dia sendiri saja
di sana, menatap kamera dengan senyum, senyum apa itu? Kelihatannya dia yang
paling kesepian di sana, karena beberapa orang di foto itu sepertinya
berpasang-pasangan. Boleh juga dia, pikir saya. Walaupun bagi saya dia bukan
yang paling tampan, tapi dialah yang paling masuk akal akan dikenalkan kepada
saya, keponakan sang bos. Tanpa ragu, saya menunjuk orang yang tampak kesepian
itu. Hahaha. Lucu kalau saya mengingat kembali masa itu.
Dan benar saja, pilihan
saya tidak salah. Hahaha. Benar dia orangnya, boleh juga tampang dan
tampilannya. Saya tertawa dalam hati, tertawa sekencang-kencangnya. Dia? Yang
benar saja? Wajahnya oke (dia kandidat kedua tertampan setelah pria yang
dipeluk wanita tadi), badannya oke, gila kalau dia belum punya pacar! Non
sense! Harapan yang tadinya muncul sedikit, surut tiba-tiba. Tidak mungkin
orang seperti dia akan suka pada saya yang tidak seberapa ini. Itulah pikiran
saya saat itu.
Lalu ibu itu mulai
menunjukkan beberapa foto lain, sepertinya itu foto profil keponakan bos saya
tunjuk tadi. Foto itu ditunjukkan kepada saya, dan saya menoleh malas-malasan,
sejujurnya saat itu saya ingin sekali fokus pada foto yang ditunjukkan kepada saya.
Foto-foto itu begitu amat sangat menarik mata saya. Amat sangat. Tapi entah
mengapa, saya sengaja membuat blur pandangan saya, dan saya
justru fokus pada pakaiannya saja. Dan bahkan, saat saya begitu berusaha sekuat
tenaga untuk mem-blur-kan pandangan saya, wajah orang di foto yang
ditunjukkan itu terasa begitu menarik perhatian, sepertinya wajahnya agak
“mengerikan”, terlalu cool, begitulah kira-kira kesimpulan yang
saya tarik dalam keadaan pandangan blur itu. Seharusnya saya
tahu siapa nama orang yang akan dikenalkan pada saya saat itu juga. Foto profil
itu di-scroll beberapa kali, dan tentunya nama pemilik foto profil
itu bisa dengan mudah saya lihat dan saya ingat. Tapi memang saya sengaja
berusaha mem-blur-kan pandangan saya saat itu, karena harapan saya sudah
pupus. Too good to be true, tidak akan cocok, kalaupun saya suka
padanya, dia tidak akan tertarik pada saya. Begitu pikir saya.
Dan hari “dikenalkan”
sekilas itu pun berlalu begitu saja. Sempat ada amarah di dalam hati saya,
karena saya tahu persis, bos saya tahu kalau saya punya pacar saat itu.
Sebegitu tidak lakunya kah saya, sampai harus dikenalkan? Tetapi setelahnya
saya sama sekali tidak ambil pusing, mengingat kecil sekali kemungkinan saya
untuk bisa berkenalan dengan orang yang saya anggap tidak akan tertarik pada
saya. Siapa dia, tidak penting buat saya saat itu . Sudahlah. Saya pun
melupakannya.
Hari-hari kembali
berjalan seperti biasa lagi. Sekalipun ada saat-saat di mana saya harus
menghadap bos saya, dan bos saya kembali menyinggung tentang perkenalan waktu
itu. Tetapi tiap kali saya diajak bicara tentang keponakan bos yang akan
dikenalkan pada saya itu, dalam hati selalu ada ketidakyakinan dalam diri saya.
Saya hanya merasa tidak yakin. Orang ini, saya tidak tahu ada di mana dia, dia
terlalu “tinggi”, terlalu “wah” buat saya. Sampai akhirnya saya sampai di
tanggal 04 Juni 2016, yang sepertinya itu awal pergerakan yang tidak saya duga.
Seseorang menambahkan saya sebagai teman Facebook-nya. Saat itu
saya tidak terlalu “notice” siapa dia. Yang saya ingat dia punya
beberapa mutual friends yang termasuk di dalamnya bos saya.
Jadi saya approve permintaan pertemanan itu.
“Salam kenal ya ito”.
Kata-kata itu muncul di wall Facebook saya. Membuat saya
berdebar-debar. Siapa dia? Beberapa orang mengomentari post itu.
Saya membiarkan post itu sampai keesokan harinya. Saya tidak
tahan lagi, dan saya tanyakan apa maksud orang-orang mengomentari postingan
yang seharusnya saya (saja) yang mengomentari, bukan orang lain. Dan
jawabannya? “Bukan apa-apa”. Dasar, pikir saya. Waktu pun berlalu, hanya shock
therapy sesaat, sudahlah. Saya mulai menyadari, dialah orang yang
ingin dikenalkan bos saya kepada saya. Saya mulai membuka-buka akun Facebook-nya,
sekadar melihat seperti apa orangnya. Kembali saya merasa, ini pasti hanya
sesaat. Perkenalan sesaat, dan pasti akan terlupakan.
Empat hari kemudian,
entah bagaimana ceritanya, akhirnya komunikasi via telepon, Line dan Whatsapp antara
saya dan keponakan bos pun dimulai. Saya sudah mengantisipasi perasaan dalam
diri saya, saya menekan perasaan saya sedemikian rupa, di satu sisi saya masih
memiliki pacar, di sisi lain saya menyadari saya tidak akan bisa berpaling dan
tidak mungkin orang yang berusaha mendekati saya ini akan menyukai saya. Saya
membatasi diri dan meyakinkan diri sendiri, bahwa hubungan ini hanya sekadar
pertemanan biasa, pelarian dari ketidaknyamanan dari keadaan saya saat itu.
Toh, saya hanya berteman dengan dia. Tidak ada komitmen apa-apa, terlebih lagi,
saya belum bertemu langsung dengan dia.
Masa-masa curious dengan
segala hal tentang keponakan bos ini saya lewati juga, mulai dari melihat
sedikit profil yang dia bagikan di media sosialnya, stalk foto-foto Instagram-nya,
sampai chatting dan berkomunikasi via telepon. Saya
benar-benar membatasi diri, saya takut terlalu berharap. Saya hanya ingin
memiliki second opinion. Demikian saya membenarkan kebersamaan kami
saat itu. Terlalu datar.
Pembicaraan tentang
perkenalan itu sekali-sekali muncul ke permukaan dan tidak membuat saya begitu
tertarik, toh saya sudah ngobrol dengan orang yang dimaksud
dan sepertinya tidak akan ada kejelasan tentang semua ini. Dia berada di
Bandung, dan saya ada di Bangka. Selentingan saya tangkap dari pembicaraan kami
di telepon, mungkin dia akan berlibur pada bulan Desember ke Bangka, saya tidak
bisa berharap banyak. Dalam kurun waktu nyaris 2 bulan, komunikasi kami sangat
datar dan cenderung tidak ada perkembangan, bahkan seperti mandek.
Entahlah, itu percakapan paling ”garing” dan “jaim”
yang pernah saya lakukan dengan seorang pria.
Ulang tahun saya
yang ke-26 pada tanggal 23 Juli 2016 saat itu masih saya rayakan dengan
pacar – yang pada akhirnya putus tidak lama setelah perayaan ulang tahun saya
itu. Bahkan saya mendapat surprise yang tidak saya sangka saat
itu. Ulang tahun saya saat itu terasa begitu menyesakkan buat saya. Ada masa di
mana saya merasa bersalah, ketika saya berkomunikasi dengan keponakan bos yang
dikenalkan pada saya, karena sekalipun ini hanya pacaran, saya sama sekali
tidak ingin mendua hati (kalau dipikir-pikir, itu hal yang terlalu idealis saat
ini). Namun di sisi lain saya ingin lepas dari hubungan saya saat itu.
Di sisi lain komunikasi
saya dengan orang yang dikenalkan pada saya saat itu tetap berlanjut. Hal ini
membuat keadaan saya tidak semakin baik. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan
keadaan saat itu, saya saat itu ingin lepas. Dan dengan munculnya orang baru
mungkin akan membuat perbedaan. Kegelisahan hati saya, saya ceritakan pada
seorang kakak yang sudah saya anggap seperti kakak kandung saya sendiri. Saya
menceritakan perkenalan saya, saya menceritakan keadaan saya, dan di hari ulang
tahun saya saat itu, dia hanya meminta saya untuk berdoa.
Berdoa. Sesuatu yang
begitu klise terdengar di telinga saya. Ide yang buruk. Saya antara setuju dan
menolak ide untuk berdoa itu. Selama ini saya rasa saya sudah cukup berdoa,
sudah cukup air mata saya, memohon Tuhan melepaskan saya dari hubungan yang
tidak membangun saya, tapi selama saya berdoa, selama itu pula Tuhan seperti
mengabaikan saya. Apa perlunya saya berdoa lagi? Saya sudah tidak sanggup lagi.
Terserahlah, pikir saya. Yang penting saya sudah memohon pada-Nya, jika Dia
tidak mau menolong, itu terserah Dia. Saya sudah berumur 26 tahun saat itu.
Sahabat saya yang saat itu saya menjadi pendamping pernikahannya, sudah akan
menikmati 1 tahun pernikahan mereka. Ada rasa tidak adil dalam hati saya
memikirkan semua itu.
Nyaris satu bulan setelah
ulang tahun saya yang ke-26. Sampai suatu ketika emosi saya benar-benar
memuncak, saat itu peringatan 17 Agustus di tahun 2016 di instansi tempat saya
bekerja, bos saya mengatakan akan ke rumah saya untuk membicarakan perkenalan
itu dengan keluarga saya. Saya sudah mulai melupakan orang yang akan dikenalkan
ini, saya malah kembali diingatkan lagi. Saya marah saat itu, walaupun tidak
saya tunjukkan langsung di hadapan bos saya. Saya menceritakan kekesalan hati
saya pada kakak saya, dan saya tetap tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan
hati saya. Tidak ada jalan keluar untuk masalah saya. Jika pun bos saya datang
dan membicarakan akan mengenalkan, lalu apa? Apa bisa semua itu menyelesaikan
masalah saya dalam hubungan yang sudah saya jalin sebelumnya?
Bos saya tidak main-main
dengan perkataannya. Dia memang datang dan membicarakan semua dengan orang tua
saya. Orang tua saya hanya merespon sekadarnya, menghormati niatan baik bos
saya, namun, sama seperti saya, tidak terlalu berharap. Toh orang yang
dibicarakan belum muncul di depan mata. Jadi semuanya hanya sekedar pembicaraan
belaka.
Saya tidak bisa bilang
bahwa komunikasi saya berjalan lancar dengan orang yang akan dikenalkan pada
saya ini. Sebelumnya saya sudah mengatakan bahwa ini adalah percakapan
“tergaring” dan “terjaim” yang pernah saya lakukan dengan seorang pria, dan parahnya,
yang belum pernah saya temui langsung.
Hubungan saya dengan
mantan pun semakin memburuk, membuat saya muak dengan segala keadaan saya saat
itu. Puncaknya adalah tanggal 10 September 2016, saya benar-benar ingin
menyudahinya. Dan benar, hubungan itu pun berakhir. Saya tidak ingin
mengingatnya lagi. Di hari yang sama saya menyudahi hubungan saya, hari itu
pula bos saya datang untuk yang kedua kalinya menemui orang tua saya dan
menegaskan kembali tentang perkenalan itu. Dengan pikiran yang kalut, saya
hanya bisa tersenyum mencoba menyembunyikan kesedihan hati saya.
Bukan hal yang mudah
untuk mengakhiri sebuah hubungan. Saya harus berjibaku dengan perasaan dan
pikiran saya, bertahan dengan segala keberadaan saya. Saya mencoba
menghilangkan kepenatan pikiran saya dengan menyusuri pantai. Sudah cukup. Saya
ingin memulai sesuatu yang baru. Itu tekad saya. Hari yang saya lalui tidak
bisa dikatakan mudah, banyak hal yang harus saya hadapi pasca keputusan saya
itu.
Hari Jumat, 16 September
2016, hari yang sama sekali tidak mengenakkan buat saya. Sedari pagi rasanya
tidak ada yang membuat saya bersemangat. Sepulang sekolah kembali bos saya
secara mengejutkan mengingatkan bahwa hari itu dia akan datang lagi. Saya sudah
tidak ambil pusing, beliau hanya mengatakan ingin mengambil anjing. Anjing? OK. It’s
not a big deal. Satu-satunya yang membuat saya bersemangat adalah kenyataan
bahwa di Jumat malam saya akan bertemu dengan teman-teman saya untuk latihan di
gereja. Namun tidak disangka, saya ingat betul saat itu, hari di mana biasanya
saya keluar dan pergi untuk latihan Sekolah Minggu di hari Jumat, tiba-tiba
saya merasa tidak enak badan, dan saya memutuskan untuk tidak pergi latihan
saat itu.
Dan tebak apa? Orang yang
pagi tadi sempat saya kasihani karena mengaku hanya sarapan roti, kini ada di
hadapan saya! Dialah orang yang akan dikenalkan pada saya! Dia ada di hadapan
saya! Orang yang nun jauh di Bandung kini benar-benar ada di depan mata saya,
tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan saya! No! Jumat,
16 September 2016 :) Awal yang tidak pernah saya duga. Pekerjaan Tuhan yang
luar biasa dalam hidup saya, entahkah itu jawaban atas doa saya atau semata
belas kasihan dan perkenanan-Nya melepaskan saya. Saya rasa opsi yang terakhir
lebih tepat untuk menggambarkan kemurahan-Nya dalam hidup saya.
0 comments:
Post a Comment