Pages

Tuesday, 10 October 2017

Jalan yang Telah Dilalui

Dua hari lagi adalah peringatan seperempat tahun pernikahan saya. Ini berarti sudah hampir 3 bulan saya berada di kota yang tidak pernah saya bayangkan saya akan berada di sana. Lembang.

Saya ingin mengingat kembali masa di mana saya seperti diajak berputar-putar untuk kemudian dipertemukan (oleh-Nya), dengan cara yang sama sekali tidak saya duga, dengan pasangan hidup saya.

Saat itu, bulan Agustus tahun 2015 (cerita ini saya dengar setelah saya mendekati pernikahan saya dengan suami saya) – mungkin itu di tanggal 22 atau 29, hari bahagia rekan kerja sekaligus teman dekat saya. Dia mendapuk saya sebagai pengiring pengantinnya saat itu (saya rasa hari itu berjalan tidak baik). Itu adalah hari di mana Tuhan bekerja dengan begitu luar biasa dalam hidup saya. Saya rasa itu permulaannya, namun mungkin Tuhan telah mengerjakannya sejak lama.

Sebagai seorang pengiring pengantin, tentu saya harus sudah berada sehari di rumah calon pengantin sebelum pernikahan berlangsung. Jumat malam, saya tidak bisa tidur, hari itu terasa kurang lengkap karena saya sedang dalam kondisi tidak baik. Saya lupa rincinya, yang saya ingat hari itu tidak seperti yang saya harapkan.

Esoknya, saya terbangun dan didandani selayaknya seorang pengiring. Saya tidak suka dan tidak pernah suka didandani seperti itu. Saya tidak pernah merasa cantik saat didandani, rasanya seperti memakai topeng saja. Hari itu saya jalani sekadarnya, sampai tibalah saat para tamu undangan dari tempat saya bekerja menghadiri pernikahan itu.

Benar, saat itu saya merasa tidak nyaman dengan make up ataupun pakaian yang saya kenakan, dan benar, saat itu perasaan saya sedang kosong dan terasa begitu menyedihkan. Bukan karena sahabat saya menikah, bukan pula karena saya iri dengan pernikahan itu, perasaan itu begitu kosong, dan hebatnya ternyata ada yang memperhatikan keadaan saya saat itu. Dialah bos saya, yang kemudian akan menjadi mertua saya. Dia yang menceritakan bagaimana wajah saya saat itu, betapa saya begitu kentara merasa sendiri di tengah keramaian pesta.

Hari pernikahan itu usai dan berlalu begitu saja, begitu menyedihkan, di mana saya harus berpisah dengan sahabat saya, dia akan memulai hidupnya yang baru di pulau lain, sementara saya harus kembali ke kehidupan saya, kembali bekerja dan menjalani hari seperti biasa.

Agustus 2015, berlalu dengan sewajarnya. Hari-hari saat kehilangan sosok teman dekat sudah berlalu. Hari-hari selanjutnya adalah hari yang sangat amat biasa, namun bos saya ternyata telah lama memperhatikan saya sejak hari pernikahan sahabat saya itu. Bos saya – seperti yang beliau ceritakan – berdoa untuk saya, di sinilah kuasa doa itu mulai bekerja. Atau mungkin – pasti -  telah lama bekerja, tetapi saya belum rasakan seperti apakah hasil pergumulan doa itu.

Kehidupan saya bukanlah kehidupan yang bisa dikatakan baik. Mungkin benar di luar saya tampak baik-baik saja, tetapi di dalam saya begitu hancur dan remuk. Saya sudah terlalu dalam terperangkap dalam dosa yang sangat memalukan, sampai saat ini saya berusaha untuk menghapus semua itu, memohon pengampunan dari Dia yang menciptakan saya. Saya percaya, Dia yang menciptakan saya telah mengampuni saya. Mengapa saya berani mengatakannya? Karena Dia telah melepaskan saya dengan cara yang sangat luar biasa, melepaskan saya untuk selamanya dari dosa, bahkan memberi saya hadiah yang begitu luar biasa, seorang suami yang begitu luar biasa bagi saya. Terima kasih, Bapa.

Saat-saat itu adalah saat di mana saya bergumul dengan dosa, dan sering saya menyerah dengan dosa itu, saya merasa tidak ada, dan tidak akan pernah ada pertolongan dan kekuatan yang akan membuat saya keluar dari dosa itu. Dan benar, saya tidak mampu melawannya, sekali pun saya berdoa, berkomitmen, menyesali diri, tetap saya tidak mampu saat itu. Pergumulan dan penyerahan saya terhadap dosa sudah saya jalani kurang lebih 2 tahun.

Berbulan-bulan sejak pernikahan sahabat saya itu, tahun 2016, mungkin di bulan Maret, atau Februari - bos saya memulai percakapan ringan dengan saya. Saat itu sedang diadakan pelatihan dari pemerintah untuk para karyawan dari beberapa instansi, dan saya adalah salah satu utusan dari instansi tempat saya bekerja. Beliau mendekati saya di waktu rehat pelatihan. Begitu ringan dan singkat percakapan itu.

“Sies, mau nggak Ibu kenalkan dengan keponakan Ibu?” Ibu - begitu saya memanggil bos saya ketika itu - bahkan sampai hari ini. Tanpa ada curiga sama sekali dan tanpa beban – tanpa berpikir panjang, tanpa ada perasaan aneh apa pun, saya menjawab, “Boleh, Bu. Kan, semakin banyak teman semakin bagus.” ringan saja saya menjawabnya, spekulatif. “Iya, benar, untuk nambah-nambah teman aja.” begitu kata beliau. Dalam hati saya begitu hopeless. Teman? Yah, oke, teman. Saya sama sekali tidak berharap lebih. Atau mungkin saya berharap, ya, sepertinya saya bersorak kegirangan waktu itu, kegirangan karena orang yang akan mengenalkan saya adalah orang yang luar biasa bagi saya, mungkin ibu ini akan membawa pencerahan untuk saja, begitu pikiran saya saat itu, antara berharap dan tidak berharap.

Sementara saya mengendalikan diri agar tidak terlalu tampak “berharap”, ibu itu mengeluarkan smartphone-nya. Membuka aplikasi Facebook di ponselnya, dan menunjukkan pada saya sebuah foto. Sebuah foto. Foto sekelompok orang, mungkin ada 10 orang dalam satu frame foto itu. Laki-laki dan perempuan. Lalu ibu itu bertanya pada saya, “Coba lihat. Menurut kamu, siapa yang paling ganteng di sini? Dia keponakan ibu”.

Hahaha. Saya tertawa dalam hati. Siapa yang paling tampan? Oke, pikir saya, saya akan menemukannya, dan saya tidak akan salah tunjuk. Saya pun mulai memperhatikan foto itu, menilai dan membandingkan. Ibu ini berencana untuk mengenalkan saya pada keponakannya, tentunya dia masih “single”. Mata saya terpaku pada sosok pria kekar yang menurut saya paling tampan di sana, tapi, sayangnya, dia dipeluk oleh seorang wanita dengan begitu mesranya. Sedikit kecewa, dan kembali ingat, salah satu pria di foto ini akan dikenalkan pada saya, dia paling tampan (menurut penilaian subjektif bos saya) dan dia single. Saya berpikir cepat, tidak mungkin orang yang akan dikenalkan pada saya dipeluk mesra seorang wanita seperti itu.

Lalu, saya menurunkan sedikit standar saya, dan mulai berpikir lebih masuk akal. Saya melihat ada seorang pria, bertubuh kekar juga, berdiri sendiri, sepertinya dia sendiri saja di sana, menatap kamera dengan senyum, senyum apa itu? Kelihatannya dia yang paling kesepian di sana, karena beberapa orang di foto itu sepertinya berpasang-pasangan. Boleh juga dia, pikir saya. Walaupun bagi saya dia bukan yang paling tampan, tapi dialah yang paling masuk akal akan dikenalkan kepada saya, keponakan sang bos. Tanpa ragu, saya menunjuk orang yang tampak kesepian itu. Hahaha. Lucu kalau saya mengingat kembali masa itu.

Dan benar saja, pilihan saya tidak salah. Hahaha. Benar dia orangnya, boleh juga tampang dan tampilannya. Saya tertawa dalam hati, tertawa sekencang-kencangnya. Dia? Yang benar saja? Wajahnya oke (dia kandidat kedua tertampan setelah pria yang dipeluk wanita tadi), badannya oke, gila kalau dia belum punya pacar! Non sense! Harapan yang tadinya muncul sedikit, surut tiba-tiba. Tidak mungkin orang seperti dia akan suka pada saya yang tidak seberapa ini. Itulah pikiran saya saat itu.

Lalu ibu itu mulai menunjukkan beberapa foto lain, sepertinya itu foto profil keponakan bos saya tunjuk tadi. Foto itu ditunjukkan kepada saya, dan saya menoleh malas-malasan, sejujurnya saat itu saya ingin sekali fokus pada foto yang ditunjukkan kepada saya. Foto-foto itu begitu amat sangat menarik mata saya. Amat sangat. Tapi entah mengapa, saya sengaja membuat blur pandangan saya, dan saya justru fokus pada pakaiannya saja. Dan bahkan, saat saya begitu berusaha sekuat tenaga untuk mem-blur-kan pandangan saya, wajah orang di foto yang ditunjukkan itu terasa begitu menarik perhatian, sepertinya wajahnya agak “mengerikan”, terlalu cool, begitulah kira-kira kesimpulan yang saya tarik dalam keadaan pandangan blur itu. Seharusnya saya tahu siapa nama orang yang akan dikenalkan pada saya saat itu juga. Foto profil itu di-scroll beberapa kali, dan tentunya nama pemilik foto profil itu bisa dengan mudah saya lihat dan saya ingat. Tapi memang saya sengaja berusaha mem-blur-kan pandangan saya saat itu, karena harapan saya sudah pupus. Too good to be true, tidak akan cocok, kalaupun saya suka padanya, dia tidak akan tertarik pada saya. Begitu pikir saya.

Dan hari “dikenalkan” sekilas itu pun berlalu begitu saja. Sempat ada amarah di dalam hati saya, karena saya tahu persis, bos saya tahu kalau saya punya pacar saat itu. Sebegitu tidak lakunya kah saya, sampai harus dikenalkan? Tetapi setelahnya saya sama sekali tidak ambil pusing, mengingat kecil sekali kemungkinan saya untuk bisa berkenalan dengan orang yang saya anggap tidak akan tertarik pada saya. Siapa dia, tidak penting buat saya saat itu . Sudahlah. Saya pun melupakannya.

Hari-hari kembali berjalan seperti biasa lagi. Sekalipun ada saat-saat di mana saya harus menghadap bos saya, dan bos saya kembali menyinggung tentang perkenalan waktu itu. Tetapi tiap kali saya diajak bicara tentang keponakan bos yang akan dikenalkan pada saya itu, dalam hati selalu ada ketidakyakinan dalam diri saya. Saya hanya merasa tidak yakin. Orang ini, saya tidak tahu ada di mana dia, dia terlalu “tinggi”, terlalu “wah” buat saya. Sampai akhirnya saya sampai di tanggal 04 Juni 2016, yang sepertinya itu awal pergerakan yang tidak saya duga. Seseorang menambahkan saya sebagai teman Facebook-nya. Saat itu saya tidak terlalu “notice” siapa dia. Yang saya ingat dia punya beberapa mutual friends yang termasuk di dalamnya bos saya. Jadi saya approve permintaan pertemanan itu.

“Salam kenal ya ito”. Kata-kata itu muncul di wall Facebook saya. Membuat saya berdebar-debar. Siapa dia? Beberapa orang mengomentari post itu. Saya membiarkan post itu sampai keesokan harinya. Saya tidak tahan lagi, dan saya tanyakan apa maksud orang-orang mengomentari postingan yang seharusnya saya (saja) yang mengomentari, bukan orang lain. Dan jawabannya? “Bukan apa-apa”. Dasar, pikir saya. Waktu pun berlalu, hanya shock therapy sesaat, sudahlah. Saya mulai menyadari, dialah orang yang ingin dikenalkan bos saya kepada saya. Saya mulai membuka-buka akun Facebook-nya, sekadar melihat seperti apa orangnya. Kembali saya merasa, ini pasti hanya sesaat. Perkenalan sesaat, dan pasti akan terlupakan.

Empat hari kemudian, entah bagaimana ceritanya, akhirnya komunikasi via telepon, Line dan Whatsapp antara saya dan keponakan bos pun dimulai. Saya sudah mengantisipasi perasaan dalam diri saya, saya menekan perasaan saya sedemikian rupa, di satu sisi saya masih memiliki pacar, di sisi lain saya menyadari saya tidak akan bisa berpaling dan tidak mungkin orang yang berusaha mendekati saya ini akan menyukai saya. Saya membatasi diri dan meyakinkan diri sendiri, bahwa hubungan ini hanya sekadar pertemanan biasa, pelarian dari ketidaknyamanan dari keadaan saya saat itu. Toh, saya hanya berteman dengan dia. Tidak ada komitmen apa-apa, terlebih lagi, saya belum bertemu langsung dengan dia.

Masa-masa curious dengan segala hal tentang keponakan bos ini saya lewati juga, mulai dari melihat sedikit profil yang dia bagikan di media sosialnya, stalk foto-foto Instagram-nya, sampai chatting dan berkomunikasi via telepon. Saya benar-benar membatasi diri, saya takut terlalu berharap. Saya hanya ingin memiliki second opinion. Demikian saya membenarkan kebersamaan kami saat itu. Terlalu datar.

Pembicaraan tentang perkenalan itu sekali-sekali muncul ke permukaan dan tidak membuat saya begitu tertarik, toh saya sudah ngobrol dengan orang yang dimaksud dan sepertinya tidak akan ada kejelasan tentang semua ini. Dia berada di Bandung, dan saya ada di Bangka. Selentingan saya tangkap dari pembicaraan kami di telepon, mungkin dia akan berlibur pada bulan Desember ke Bangka, saya tidak bisa berharap banyak. Dalam kurun waktu nyaris 2 bulan, komunikasi kami sangat datar dan cenderung tidak ada perkembangan, bahkan seperti mandek. Entahlah, itu percakapan paling ”garing”  dan “jaim” yang pernah saya lakukan dengan seorang pria.

Ulang tahun saya  yang ke-26 pada tanggal 23 Juli 2016 saat itu masih saya rayakan dengan pacar – yang pada akhirnya putus tidak lama setelah perayaan ulang tahun saya itu. Bahkan saya mendapat surprise yang tidak saya sangka saat itu. Ulang tahun saya saat itu terasa begitu menyesakkan buat saya. Ada masa di mana saya merasa bersalah, ketika saya berkomunikasi dengan keponakan bos yang dikenalkan pada saya, karena sekalipun ini hanya pacaran, saya sama sekali tidak ingin mendua hati (kalau dipikir-pikir, itu hal yang terlalu idealis saat ini). Namun di sisi lain saya ingin lepas dari hubungan saya saat itu.

Di sisi lain komunikasi saya dengan orang yang dikenalkan pada saya saat itu tetap berlanjut. Hal ini membuat keadaan saya tidak semakin baik. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan keadaan saat itu, saya saat itu ingin lepas. Dan dengan munculnya orang baru mungkin akan membuat perbedaan. Kegelisahan hati saya, saya ceritakan pada seorang kakak yang sudah saya anggap seperti kakak kandung saya sendiri. Saya menceritakan perkenalan saya, saya menceritakan keadaan saya, dan di hari ulang tahun saya saat itu, dia hanya meminta saya untuk berdoa.
Berdoa. Sesuatu yang begitu klise terdengar di telinga saya. Ide yang buruk. Saya antara setuju dan menolak ide untuk berdoa itu. Selama ini saya rasa saya sudah cukup berdoa, sudah cukup air mata saya, memohon Tuhan melepaskan saya dari hubungan yang tidak membangun saya, tapi selama saya berdoa, selama itu pula Tuhan seperti mengabaikan saya. Apa perlunya saya berdoa lagi? Saya sudah tidak sanggup lagi. Terserahlah, pikir saya. Yang penting saya sudah memohon pada-Nya, jika Dia tidak mau menolong, itu terserah Dia. Saya sudah berumur 26 tahun saat itu. Sahabat saya yang saat itu saya menjadi pendamping pernikahannya, sudah akan menikmati 1 tahun pernikahan mereka. Ada rasa tidak adil dalam hati saya memikirkan semua itu.

Nyaris satu bulan setelah ulang tahun saya yang ke-26. Sampai suatu ketika emosi saya benar-benar memuncak, saat itu peringatan 17 Agustus di tahun 2016 di instansi tempat saya bekerja, bos saya mengatakan akan ke rumah saya untuk membicarakan perkenalan itu dengan keluarga saya. Saya sudah mulai melupakan orang yang akan dikenalkan ini, saya malah kembali diingatkan lagi. Saya marah saat itu, walaupun tidak saya tunjukkan langsung di hadapan bos saya. Saya menceritakan kekesalan hati saya pada kakak saya, dan saya tetap tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan hati saya. Tidak ada jalan keluar untuk masalah saya. Jika pun bos saya datang dan membicarakan akan mengenalkan, lalu apa? Apa bisa semua itu menyelesaikan masalah saya dalam hubungan yang sudah saya jalin sebelumnya?

Bos saya tidak main-main dengan perkataannya. Dia memang datang dan membicarakan semua dengan orang tua saya. Orang tua saya hanya merespon sekadarnya, menghormati niatan baik bos saya, namun, sama seperti saya, tidak terlalu berharap. Toh orang yang dibicarakan belum muncul di depan mata. Jadi semuanya hanya sekedar pembicaraan belaka.

Saya tidak bisa bilang bahwa komunikasi saya berjalan lancar dengan orang yang akan dikenalkan pada saya ini. Sebelumnya saya sudah mengatakan bahwa ini adalah percakapan “tergaring” dan “terjaim” yang pernah saya lakukan dengan seorang pria, dan parahnya, yang belum pernah saya temui langsung.

Hubungan saya dengan mantan pun semakin memburuk, membuat saya muak dengan segala keadaan saya saat itu. Puncaknya adalah tanggal 10 September 2016, saya benar-benar ingin menyudahinya. Dan benar, hubungan itu pun berakhir. Saya tidak ingin mengingatnya lagi. Di hari yang sama saya menyudahi hubungan saya, hari itu pula bos saya datang untuk yang kedua kalinya menemui orang tua saya dan menegaskan kembali tentang perkenalan itu. Dengan pikiran yang kalut, saya hanya bisa tersenyum mencoba menyembunyikan kesedihan hati saya.


Bukan hal yang mudah untuk mengakhiri sebuah hubungan. Saya harus berjibaku dengan perasaan dan pikiran saya, bertahan dengan segala keberadaan saya. Saya mencoba menghilangkan kepenatan pikiran saya dengan menyusuri pantai. Sudah cukup. Saya ingin memulai sesuatu yang baru. Itu tekad saya. Hari yang saya lalui tidak bisa dikatakan mudah, banyak hal yang harus saya hadapi pasca keputusan saya itu.

Hari Jumat, 16 September 2016, hari yang sama sekali tidak mengenakkan buat saya. Sedari pagi rasanya tidak ada yang membuat saya bersemangat. Sepulang sekolah kembali bos saya secara mengejutkan mengingatkan bahwa hari itu dia akan datang lagi. Saya sudah tidak ambil pusing, beliau hanya mengatakan ingin mengambil anjing. Anjing? OK. It’s not a big deal. Satu-satunya yang membuat saya bersemangat adalah kenyataan bahwa di Jumat malam saya akan bertemu dengan teman-teman saya untuk latihan di gereja. Namun tidak disangka, saya ingat betul saat itu, hari di mana biasanya saya keluar dan pergi untuk latihan Sekolah Minggu di hari Jumat, tiba-tiba saya merasa tidak enak badan, dan saya memutuskan untuk tidak pergi latihan saat itu.

Dan tebak apa? Orang yang pagi tadi sempat saya kasihani karena mengaku hanya sarapan roti, kini ada di hadapan saya! Dialah orang yang akan dikenalkan pada saya! Dia ada di hadapan saya! Orang yang nun jauh di Bandung kini benar-benar ada di depan mata saya, tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan saya! No! Jumat, 16 September 2016 :) Awal yang tidak pernah saya duga. Pekerjaan Tuhan yang luar biasa dalam hidup saya, entahkah itu jawaban atas doa saya atau semata belas kasihan dan perkenanan-Nya melepaskan saya. Saya rasa opsi yang terakhir lebih tepat untuk menggambarkan kemurahan-Nya dalam hidup saya.


0 comments:

Post a Comment