Saya terkesima saat seorang sahabat saya mengomentari pertanyaan bagaimanakah sebaiknya sikap seorang ketua dan bagaimanakah sikap anggota-anggota lain terhadap ketua tersebut.
Pertanyaan itu muncul saat kami sedang bermusyawarah untuk menentukan siapa yang akan menjadi ketua KKN (Kuliah Kerja Nyata) kami pada bulan Juli-Agustus tahun lalu.
Ingatan itu kembali muncul saat saya menonton salah satu TV swasta yang membahas sikap hedonis para wakil rakyat pagi ini.
Amarah saya terbakar saat moderator mengatakan bahwa salah satu narasumber yang hadir (dia merupakan salah satu petinggi partai dan wakil rakyat juga) mengenakan sepatu seharga Rp2.000.000,00, lalu kemudian seorang penelepon yang mungkin sama marahnya dengan saya memaki mereka dan berkata mereka tidak punya hati nurani.
Saya kesal sekali, saat penelepon itu menyebutkan "Rakyat memakai baju seharga Rp20.000,00 dua potong, sementara mereka menghabiskan Rp2.000.000,00 untuk sepatu mereka? bla bla bla"
Saya buru-buru menarik perkataan itu dan mengukurkannya pada diri saya. Rp2.000.000,00 adalah perjuangan berkepanjangan selama 1 bulan buat saya, dan saya bahkan belum tentu bisa menikmati apa yang saya kerjakan itu.
Oke, saya benar-benar kesal. Saya ingin melempar gelas teh saya ke kepala orang yang sedang duduk nyaman diwawancarai sambil mengenakan sepatu "wah" itu.
Namun, sekali lagi saya terhenyak_ Saat orang yang ingin saya lempar kepalanya itu menjawab semua cercaan itu sama persis dengan cara menjawab sahabat saya 9 bulan lalu.
Biasa saja. Kita bersikap biasa saja. Biasa saja. Bersikap wajar saja...
Itulah jawaban narasumber itu, dan begitu pulalah komentar sahabat saya dahulu.
Dan penjelasan narasumber itu sungguh membuat bimbang apakah saya ingin melempar kepalanya atau mengamini perkataannya.
Dia berkata begini," Semuanya itu jangan digeneralisasi. Kita bersikap biasa sajalah. Jangan kita samakan semua orang. Jangan kita berpura-pura. Orang miskin berpura-pura kaya, itulah koruptor. Atau orang kaya berpura-pura miskin, itulah para penggelap pajak. Kita bersikap biasa saja. Dengan apa yang kita miliki, selagi kita bisa mempertanggungjawabkan dari mana kita memperoleh semua itu, dan selagi kita bisa memberi kinerja yang baik, saya rasa tidak perlu dibesar-besarkan semua itu."
Bersikap biasa saja....
Kebiasaan saya adalah menggunakan google translator, dan saya langsung mengetikkan kata "biasa saja" di situ. Dan saya memperoleh keempat kata berikut sebagai padanan kata "biasa saja": indifferent, pedestrian, so-so, run-of-the-mill.
Dan kebiasaan saya yang lain adalah meng-cross-check kesesuaian arti kata tersebut. Dan saya benar-benar terkejut ketika kata "indifferent" diterjemahkan sebagai acuh tak acuh, biasa saja, masa bodoh, tak bermutu, yg tdk peduli, tdk tertarik, ancak-ancak. Lalu kata "pedestrian" sebagai adjektiva diterjemahkan sebagai biasa saja, menjemukan, kurang menarik. Lalu so-so berarti begitu, lumayan, biasa saja. Dan run-of-the-mill tidak muncul terjemahannnya_ saya asumsikan hasilnya akan sama saja.
Lalu saya mulai bertanya-tanya, seperti apakah sikap "biasa saja" atau "wajar saja" itu?
Apakah itu berarti "biasa saja" dimaksudkan sebagai bersikap acuh tak acuh, masa bodoh dengan cara yang menjemukan??
Di satu sisi saya memuja kata "bersikap biasa saja", namun di sisi lain saya mulai berpikir bahwa "bersikap biasa saja" itu tidak ubahnya dengan "masa bodoh" atau "menjemukan".